DAMPAK KENAIKAN HARGA MINYAK GORENG TERHADAP USAHA
PENGGORENGAN DI KOTA BEKASI
Penyusun :
1. Bambang Suparjo ( OM 2 )
2. Listianingsih ( OM 2 )
OFFICE MANAGEMENT AND INFORMATION TECHNOLOGY
2012
Kata Pengantar
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Judul makalah ini adalah “Dampak Kenaikan Harga Minyak Goreng Terhadap Usaha Penggorengan Kerupuk di Kota Bekasi”. Adapun makalah ini merupakan tugas pengantar ekonomi mikro pada Program Studi Office Manajemen, Fakultas Ekonomi, Institut Global Mulia.
Kenaikan harga minyak goreng yang terjadi beberapa bulan terakhir ini dapat mempengaruhi kondisi usaha beberapa industri pengolahan makanan terutama untuk industri pengolahan makanan skala kecil dan menengah. Salah satunya adalah usaha penggorengan kerupuk. Makalah ini memaparkan dampak kenaikan harga minyak goreng yang sedang terjadi terhadap kondisi usaha penggorengan kerupuk, sehingga diharapkan dapat memberikan suatu gambaran dan masukan untuk para pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkannya.
Bekasi, 01 Juli 2012 ttd Penulis |
DAFTAR ISI
Kata Pengantar-------------------------------------------------------------------------------------------- 2
Daftar Isi------------------------------------------------------------------------------------------------------ 3
BAB I Pendahuluan------------------------------------------------------------------------------------- 4
A. Konsep Dasar Elastisitas--------------------------------------------------------------------- 4
BAB II Pembahasan------------------------------------------------------------------------------------- 5
BAB III Penutup------------------------------------------------------------------------------------------- 11
A. Kesimpulan--------------------------------------------------------------------------------------- 11
B. Daftar Pustaka----------------------------------------------------------------------------------- 12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Konsep Dasar Elastisitas
Elastisitas merupakan salah satu konsep penting untuk memahami beragam permasalahan di bidang ekonomi. Konsep elastisitas sering dipakai sebagai dasar analisis ekonomi, seperti dalam menganalisis permintaan, penawaran, penerimaan pajak, maupun distribusi kemakmuran.
Dalam bidang perekonomian daerah, konsep elastisitas dapat digunakan untuk memahami dampak dari suatu kebijakan. Sebagai contoh, Pemerintah Daerah dapat mengetahui dampak kenaikan pajak atau subsidi terhadap pendapatan daerah, tingkat pelayanan masyarakat, kesejahteraan penduduk, pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan investasi, dan indikator ekonomi lainnya dengan menggunakan pendekatan elastisitas. Selain itu, konsep elastisitas dapat digunakan untuk menganalisis dampak kenaikan pendapatan daerah terhadap pengeluaran daerah atau jenis pengeluaran daerah tertentu. Dengan kegunaannya tersebut, alat analisis ini dapat membantu mengambil kebijakan dalam memutuskan prioritas dan alternatif kebijakan yang memberikan manfaat terbesar bagi kemajuan daerah.
Elastisitas dapat mengukur seberapa besar perubahan suatu variabel terhadap perubahan variabel lain. Sebagai contoh, elastisitas Y terhadap X mengukur berapa persen perubahan Y karena perubahan X sebesar 1 persen.
BAB II
PEMBAHASAN
Minyak goreng adalah salah satu komoditas dari sembilan bahan pokok yang peranannya cukup penting dalam perekonomian Indonesia. Perannya yang cukup penting dalam perekonomian ditunjukkan dengan beberapa kejadian adanya kelangkaan minyak goreng yang kemudian menimbulkan dampak ekonomi dan politik yang cukup berarti bagi perekonomian nasional. Berdasarkan hal tersebut maka minyak goreng dapat dikategorikan sebagai komoditas strategis (Sumaryanto dan Marcellus, 1996). Minyak goreng juga bersifat multiguna, karena dapat dikonsumsi langsung ataupun menjadi bahan baku bagi industri, seperti industri makanan ringan, mie instan dan industri lainnya.
Beberapa tahun terakhir ini harga minyak goreng di dalam negeri semakin meningkat, peningkatan harga minyak goreng dalam negeri disebabkan oleh meningkatnya harga CPO (Crude Palm Oil) di pasar Internasional. Harga rata-rata CPO di pasar internasional meningkat hingga mencapai level US$ 755 per ton yang merupakan peningkatan tertinggi sejak 1984. Produksi CPO Indonesia diperkirakan mencapai 15 juta ton pada tahun 2006 dan sekitar 30-40 persen diantaranya untuk konsumsi dalam negeri dan sisanya 60-70 persen untuk pasar ekspor atau mencapai 10 juta ton. Diperkirakan pada tahun 2007 harga CPO dunia akan terus meningkat hingga harga US$ 900 per ton. Tingginya harga tersebut mendorong produsen CPO untuk meningkatkan jumlah konsumsi untuk pasar ekspor karena dinilai lebih menguntungkan, sehingga pasokan untuk konsumsi dalam negeri mulai berkurang. Kondisi tersebut jelas akan mendorong peningkatan harga minyak goreng yang lebih tinggi di pasar domestik.
Keterangan : 1. Kemasan = 620 ml
2. Tanpa Merek = 1kg
Gambar 1. Rata-rata Harga Eceran Minyak Goreng Bermerek dan Minyak
Goreng Curah (Tanpa Merek) di Pasar Tradisional Dalam Negeri
Tahun 2007
Sumber : Direktorat Jendral Perdagangan Dalam Negeri, 2007
Menurut BPS (2006) pada tahun 2004 konsumsi rata-rata minyak goreng per kapita dalam sebulan adalah 0,8170 liter, sedangkan tahun 2005 hanya sebesar 0,8127 liter. Menurunnya konsumsi per kapita tersebut karena adanya kenaikan harga minyak goreng. Naiknya harga minyak goreng dapat dilihat dari besarnya pengeluaran yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk membeli minyak goreng yang meningkat dari tahun 2003 yang hanya Rp. 4642 menjadi Rp. 5441 pada tahun 2005.
Konsumsi dan pengeluaran rata-rata perkapita sebulan untuk minyak
goreng dapat dilihat pada Tabel 1.
Kenaikan harga minyak goreng tersebut dapat mempengaruhi kondisi usaha beberapa industri pengolahan makanan terutama untuk industri pengolahan makanan skala kecil dan menengah. Jika melihat fakta-fakta yang ada UKM (Usaha Kecil dan Menengah) yang memberikan kontribusi cukup besar terhadap total usaha nasional adalah UKM yang bergerak di bidang agroindustri.
Pengolahan makanan dan minuman (Departement Koperasi, 2007). dapat dilihat bahwa dari 1006 kelompok UKM yang dibina oleh Kementrian Koperasi dan UKM sektor usaha pengolahan makanan dan minuman dengan jumlah 241 unit UKM berada di tempat kedua setelah sektor usaha kerajinan dengan jumlah 279 UKM. Hal ini memperlihatkan bahwa sektor usaha pengolahan makanan dan minuman adalah salah satu sektor usaha dari kelompok UKM yang memiliki posisi penting dalam perekonomian Indonesia. Adanya kenaikan harga minyak goreng yang terjadi beberapa tahun ini dapat mempengaruhi keadaan ekonomi industri pengolahan makanan pada khususnya dan perekonomian Indonesia pada umumnya.
Tabel 2. Jumlah Usaha Kecil Menengah yang Mengikuti Pembinaan Sentra Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah di Indonesia Berdasar Sektor Usaha pada Tahun 2005.
Sektor Usaha | Jumlah UKM (Unit) |
Kerajinan | 279 |
Makanan/Minuman | 241 |
Perikanan | 139 |
Pertanian/perkebunan | 135 |
Industri sandang | 122 |
Peternakan | 90 |
Sumber :Depkop, 2007
Perkembangan volume total produksi kerupuk di Indonesia cenderung berfluktuatif. Pada Tabel 3 dapat dilihat pada tahun 2002 produksi kerupuk mengalami pertumbuhan yang tinggi yaitu sebesar 35,22 persen. Tingginya persentase pertumbuhan pada tahun 2002 disebabkan adanya krisis ekonomi dan kerupuk adalah salah satu makanan yang harganya cenderung murah dan tidak terlalu meningkat pada masa itu. Pada tahun 2003 pertumbuhan produksi menurun menjadi 9,76 persen karena adanya kenaikkan harga BBM, dan kemudian pertumbuhan kembali meningkat pada tahun 2004 menjadi 16,02 persen.
Pertumbuhan produksi kerupuk yang positif dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 20,33 persen menunjukkan industri ini memiliki prospek yang cerah untuk terus dikembangkan. Adanya kenaikan harga minyak goreng yang terjadi beberapa tahun ini akan mempengaruhi kondisi usaha dan kegiatan produksi penggorengan kerupuk, yang kemudian akan mempengaruhi pertumbuhan volume produksi kerupuk di Indonesia.
Tabel 3. Perkembangan Volume Produksi Kerupuk di Indonesia Tahun 2001-2004
(dalam ton)
Jenis | 2001 | 2002 | 2003 | 2004 | Rata-rata |
Kerupuk Udang | 14.501,90 | 12.157,37 | 18.738,23 | 21.385,73 | 16.695,81 |
Kerupuk Ikan | 10.351,67 | 17.162,55 | 11.820,14 | 14.838,73 | 13.543,19 |
Kerupuk Singkong | 1.013,38 | 2.048,48 | 4.834,81 | 4.834,81 | 2.430,54 |
Kerupuk Jagung | 935,75 | 1.709.87 | 701,81 | 855,50 | 1.050,73 |
Kerupuk Beras | 434,71 | 599,31 | 762,43 | 1.474,08 | 817,63 |
Total | 30.740,82 | 30.740,82 | 45.622,62 | 52.930,93 | 42.175,37 |
% pertumbuhan | - | 35,22 | 9,76 | 16,02 | 16,02 |
Sumber : BPS, 2005
Kota Bekasi mengalami kenaikan harga minyak goreng sekitar 41, 5 persen yang merupakan kenaikan harga tertinggi di daerah Jababeka Kenaikan harga yang tinggi ini akan sangat mempengaruhi industri kecil dan menengah yang bergerak dalam bidang pengolahan makanan di Kota Bekasi khususnya adalah usaha penggorengan kerupuk. Kenaikan harga minyak goreng yang tinggi di Kota Bekasi akan mempengaruhi kondisi usaha, kuantitas dan kualitas input yang digunakan dan
output yang dihasilkan usaha penggorengan kerupuk di Kota Bekasi.
Meningkatnya biaya dan menurunnya volume produksi akan memicu penurunan keuntungan yang didapat pengusaha yang kemudian akan mempengaruhi efisiensi usaha penggorengan kerupuk di Kota Bekasi. Efisensi produksi akan mempengaruhi tingkat optimalitas penggunaan faktor produksi yang digunakan oleh pengusaha.
Berdasarkan teori ekonomi produksi, kenaikan harga minyak goreng yang merupakan salah satu faktor produksi penting dalam usaha penggorengan akan menyebabkan peningkatan dalam biaya produksi. Peningkatan biaya produksi tersebut akan memicu pengurangan penggunaan input faktor produksi dan pengurangan jumlah output yang dihasilkan. Pengurangan jumlah output dan peningkatan harga faktor produksi dan biaya produksi pada akhirnya akan ikut memicu berkurangnya jumlah pendapatan usaha para pengusaha penggorengan kerupuk.
Dampak lain dari kenaikkan harga minyak goreng selain akan menurunkan pendapatan usaha adalah akan memicu perubahan efisiensi penggunaan faktor produksi dalam proses produksi. Perubahan dalam efisensi produksi jelas akan merubah tingkat penggunaan input produksi yang optimal, sehingga agar penggunaan input produksi menjadi efisien maka perlu dicari tingkat penggunaan input yang optimum.
Tabel. 4 Dampak Kenaikan Harga Minyak Goreng Terhadap Penggunaan Faktor Produksi
Penggunaan Input | Sebelum Kenaikan Harga Minyak goreng | Setelah Kenaikan Harga Minyak goreng | Perubahan ( % ) |
Kerupuk Mentah (Kg/hari) | 77.7 | 75.2 | -3.22 |
Minyak Goreng (Kg/hari) | 38.9 | 38.5 | -1.03 |
Minyak Tanah (liter/hari) | 17.7 | 17.7 | -2.26 |
Plastik (Kg/hari) | 9.2 | 9.1 | -1.09 |
Tenaga Kerja (HOK/hari) | 3.41 | 3.29 | -2.94 |
Jumlah penggunaan faktor produksi dan harga faktor produksi yang akan dipakai dalam suatu proses produksi akan ikut mempengaruhi besarnya biaya produksi yang akan dikeluarkan pengusaha. Hal ini disebabkan komponen total biaya produksi atau Total Cost (TC) dalam usaha penggorengan kerupuk yaitu terdiri dari biaya pembeliaan minyak goreng, minyak tanah, plastik, biaya tenaga kerja, biaya penyusutan, biaya sewa tempat dan biaya pengeluaran untuk listrik dan air.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Kenaikan harga minyak goreng menyebabkan penurunan penggunaan seluruh input produksi pada usaha penggorengan kerupuk meskipun penurunan yang terjadi tidak nyata atau signifikan.
2. Terdapat peningkatan pada biaya produksi total meskipun tidak signifikan dan penurunan pada volume produksi, penerimaan dan keuntungan usaha, tetapi hanya keuntungan yang penurunannya signifikan atau nyata.
3. Hanya tiga variabel faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap volume produksi, yaitu variabel kerupuk mentah, minyak goreng dan minyak tanah. Pada saat kenaikan harga penggunaan seluruh faktor produksi pada usaha penggorengan kerupuk belum efisien.
4. Penggunaan seluruh input produksi dalam usaha penggorengan kerupuk pada kondisi setelah kenaikan harga minyak goreng belum optimal.
B. Daftar Pustaka